Tugas Terstruktur 06: Zelda Nayla Ramadhani E43

 Hak atas Pengadilan yang Adil: Pondasi Utama Penegakan HAM

 

Disusun Oleh: 

Zelda Nayla Ramadhani

46125010112

Pendidikan Kewarganegaraan

   

ABSTRAK

Artikel ini menyajikan narasi reflektif mengenai peran fundamental hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) sebagai landasan utama bagi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam konteks portofolio sikap, tulisan ini tidak hanya mengurai konsep yuridis, tetapi juga merefleksikan signifikansi personal dan institusional dari due process of law. Seringkali dianggap teknis, hak ini pada kenyataannya adalah "gerbang" yang menentukan apakah hak-hak substantif lainnya (seperti hak hidup, kebebasan berekspresi, dan hak milik) dapat dilindungi secara efektif. Permasalahan utama yang diangkat adalah kesenjangan antara idealitas norma (das sollen) dan realitas implementasi (das sein), yang sering terhambat oleh tantangan integritas, aksesibilitas, dan kesadaran hukum. Melalui pembahasan reflektif, artikel ini berargumen bahwa sikap (attitude) aparatur penegak hukum dan masyarakat terhadap pengadilan yang adil adalah cerminan sejati dari komitmen sebuah bangsa terhadap HAM. Kesimpulannya, penguatan pondasi ini memerlukan reformasi struktural sekaligus pembaruan sikap kolektif yang memandang proses peradilan bukan sebagai formalitas, melainkan sebagai benteng keadilan.

KATA KUNCI

Hak Asasi Manusia, Hak atas Pengadilan yang Adil, Due Process of Law, Penegakan Hukum, Portofolio Sikap, Refleksi Kritis.

I. PENDAHULUAN


Hak Asasi Manusia adalah pilar peradaban modern. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, sebagai common standard of achievement, meletakkan serangkaian hak yang melekat pada setiap individu tanpa terkecuali. Namun, memiliki daftar hak yang komprehensif di atas kertas tidak dengan sendirinya menjamin pemenuhan hak-hak tersebut dalam kenyataan. Di sinilah letak urgensi refleksi kita.
Dalam portofolio sikap ini, fokus refleksi diarahkan pada satu hak yang seringkali dianggap sebagai "haknya para pengacara" atau sekadar prosedur teknis, yaitu hak atas pengadilan yang adil. Pasal 10 DUHAM menyatakan, "Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama dalam pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang mandiri dan tidak memihak..." Di Indonesia, jaminan ini ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) yang menjamin "pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan refleksi mendalam: mengapa hak prosedural ini disebut sebagai pondasi utama penegakan HAM? Ini adalah upaya untuk membongkar pemahaman teknis dan menggantinya dengan pemahaman sikap (attitude) bahwa tanpa mekanisme peradilan yang adil, semua hak asasi lainnya menjadi ilusi.

II. PERMASALAHAN

Refleksi ini berangkat dari kegelisahan atas kesenjangan antara idealitas norma dan realitas di lapangan. Meskipun jaminan konstitusional dan internasional telah ada, implementasi pengadilan yang adil di banyak tempat, termasuk Indonesia, masih menghadapi tantangan serius. Permasalahan ini dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan reflektif:
 
  1. Bagaimana mungkin hak-hak substantif (hak hidup, bebas dari penyiksaan, kebebasan berpendapat) dapat ditegakkan jika mekanisme untuk membelanya (pengadilan) tidak adil, tidak independen, dan tidak imparsial?
  2. Apa dampak psikologis dan sosial yang terjadi ketika individu merasa bahwa sistem peradilan tidak memberinya kesempatan yang adil (fair chance) untuk didengar?
  3. Mengapa praktik-praktik seperti "mafia peradilan", sulitnya akses terhadap bantuan hukum bagi masyarakat miskin, dan proses yang berbelit-belit terus menggerogoti kepercayaan publik terhadap hukum?
  4. Apa sikap (attitude) yang seharusnya dimiliki oleh seorang penegak hukum dan juga warga negara dalam memandang proses peradilan yang adil? 

III. PEMBAHASAN: Narasi Reflektif dan Sebuah Pondasi

a. Hak Prosedural sebagai "Gerbang" Hak Substantif

Refleksi awal membawa kita pada kesadaran bahwa hak atas pengadilan yang adil bukanlah tujuan itu sendiri. Ia adalah mekanisme atau gerbang (gateway right). Bayangkan seseorang ditangkap secara sewenang-wenang karena mengkritik pemerintah (pelanggaran hak kebebasan berekspresi). Satu-satunya tempat di mana ia dapat membela haknya, membuktikan ketidakbersalahannya, dan memulihkan nama baiknya adalah di pengadilan. Jika pengadilan itu memihak, korup, atau tidak memberinya kesempatan untuk menghadirkan saksi, maka hak kebebasan berekspresinya lenyap seketika. Dengan demikian, pengadilan yang adil adalah "ruang gawat darurat" bagi hak-hak lain yang sedang terluka. Jika "UGD"-nya tidak berfungsi, pasien (korban pelanggaran HAM) pasti akan "meninggal". Refleksi ini menyadarkan kita bahwa mengabaikan due process sama dengan mengabaikan seluruh katalog HAM.

b. Pengadilan yang Adil sebagai Cerminan Martabat Manusia

Poin refleksi kedua adalah tentang martabat. Due process of law lebih dari sekadar aturan main; ini adalah tentang bagaimana negara memperlakukan warganya. Proses yang adil di mana seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah (presumption of innocence), diberi tahu tentang tuduhannya, diberi waktu yang cukup untuk membela diri, dan didampingi penasihat hukum adalah pengakuan negara bahwa individu yang diadili adalah subjek hukum yang bermartabat, bukan objek kekuasaan. Sebaliknya, peradilan yang sesat (unfair trial) adalah bentuk dehumanisasi. Ketika seseorang disiksa untuk mengaku, tidak diberi akses pengacara, atau diadili oleh hakim yang sudah "dibeli", martabatnya sebagai manusia telah direnggut, bahkan sebelum putusan dibacakan. Sikap kita terhadap proses peradilan, oleh karena itu, mencerminkan sejauh mana kita menghargai martabat manusia.

c. Sikap (Attitude) sebagai Kunci Integritas Sistem

Ini adalah inti dari portofolio sikap. Hukum tidak berjalan di ruang hampa; ia dijalankan oleh manusia. Peraturan perundang-undangan tentang pengadilan yang adil (seperti yang ada dalam KUHAP) bisa menjadi sangat baik, tetapi akan lumpuh jika tidak diimbangi dengan sikap penegak hukum yang berintegritas. Refleksi ini menuntut kita untuk melihat ke dalam diri para aktor polisi, jaksa, hakim, dan advokat. Apakah mereka memandang hukum acara sebagai "beban" formalitas atau sebagai "benteng" keadilan? Sikap koruptif, sikap malas (indolence) dalam mencari kebenaran materiil, atau sikap arogan (arrogance of power) adalah musuh utama dari pengadilan yang adil. Bagi kita sebagai mahasiswa atau warga negara, sikap apatis atau sikap "memaklumi" praktik kotor di peradilan juga berkontribusi pada rusaknya pondasi ini. Sikap yang harus dibangun adalah sikap vigilansi (kewaspadaan) dan sikap menuntut pertanggungjawaban (accountability).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan: Refleksi atas hak pengadilan yang adil menyimpulkan bahwa ia bukanlah sekadar salah satu dari banyak hak, melainkan pondasi utama tempat berdirinya seluruh bangunan penegakan HAM. Tanpa pengadilan yang adil, hak-hak lain runtuh. Ia adalah mekanisme pelindung, penjaga martabat manusia, dan barometer integritas sebuah negara hukum. Kegagalan dalam menjamin due process bukan hanya kegagalan prosedural, tetapi kegagalan moral dan peradaban. Portofolio sikap ini menegaskan bahwa komitmen terhadap HAM harus dimulai dengan komitmen untuk memperlakukan setiap orang secara adil di muka pengadilan.

Saran
  • Institusional: Perlu ada reformasi berkelanjutan dalam sistem peradilan, terutama dalam hal pengawasan eksternal dan internal (Komisi Yudisial, Bawas MA) untuk memberantas mafia peradilan dan menjamin integritas hakim.
  • Aksesibilitas: Negara harus secara serius memperkuat sistem Bantuan Hukum (LBH/OBH) agar access to justice tidak hanya dinikmati oleh mereka yang mampu secara finansial.
  • Edukasi (Sikap): Pendidikan HAM dan etika profesi harus menjadi inti dari kurikulum pendidikan tinggi hukum dan pelatihan aparatur penegak hukum, menekankan perubahan sikap dari formalisme menuju keadilan substantif. 
 

DAFTAR PUSTAKA

Herdyanto, E., & Suyanto, I.A.J. (2020). Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Bangsa
Zindan Baynal Hubi et al. (2023). Analisis Peran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah Pengembang Kepribadian dan Karakter di Perguruan Tinggi
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
SK Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006
Sapriya. (2011). Pendidikan Kewarganegaraan: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Tilaar, H.A.R. (2002). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Jakarta: Grasindo
Kaelan. (2007). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Paradigma
Winataputra, U.S. (2001). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Internasional. Jakarta: Universitas Terbuka
Wahab, A., & Sapriya. (2011). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Bandung: CV. Pustaka Setia
UNESCO. (2015). Global Citizenship Education: Topics and Learning Objectives

Comments

Popular posts from this blog

Tugas Terstruktur 02 : Zelda Nayla Ramadhani E43

Tugas Mandiri 02 : Zelda Nayla Ramadhani E43

Tugas Mandiri 03: Zelda Nayla Ramadhani E43