Tugas Mandiri 06: Zelda Nayla Ramadhani E43

Keadilan dan Kesetaraan Gender:  Hak Mahasiswi di Lingkungan Perguruan Tinggi

 

Oleh Zelda Nayla Ramadhani

46125010112

Pendidikan Kewarganageraan 

 

ABSTRAK

Pendidikan tinggi adalah arena vital untuk perwujudan hak-hak warga negara, terutama hak atas pendidikan dan pengembangan diri. Namun, lingkungan kampus yang idealnya inklusif masih menyimpan tantangan besar terkait keadilan dan kesetaraan gender. Artikel reflektif ini bertujuan untuk mengkaji realitas pemenuhan hak-hak mahasiswi di lingkungan perguruan tinggi sebagai cerminan dari pelaksanaan hak warga negara. Melalui analisis kritis yang didasarkan pada kerangka hukum Indonesia dan realitas sosial di kampus, tulisan ini mengidentifikasi adanya kesenjangan antara jaminan konstitusional (das sollen) dan praktik di lapangan. Permasalahan utama yang diangkat mencakup kerentanan terhadap kekerasan seksual, diskriminasi terselubung dalam partisipasi akademik dan organisasi, serta bias gender yang menghambat potensi mahasiswi. Narasi ini menyimpulkan bahwa pemenuhan hak mahasiswi bukan sekadar isu perempuan, melainkan barometer fundamental bagi tegaknya keadilan sosial dan martabat warga negara. Sikap proaktif dan kolektif dari seluruh sivitas akademika diperlukan untuk mentransformasi kampus menjadi ruang yang aman dan setara.

KATA KUNCI

Hak Warga Negara, Kesetaraan Gender, Hak Mahasiswi, Lingkungan Perguruan Tinggi, Keadilan, Kekerasan Seksual.
 

I. PENDAHULUAN

Memasuki gerbang perguruan tinggi bukan hanya soal transfer ilmu; ini adalah proses menjadi warga negara yang utuh. Kampus adalah miniatur negara, tempat di mana ideologi, hukum, dan hak-hak warga negara diuji dan dipraktikkan. Konstitusi kita, UUD 1945, secara tegas menjamin hak setiap warga negara atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1) dan hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun (Pasal 28I ayat 2). Dalam konteks inilah, status "mahasiswa" dan "mahasiswi" hadir sebagai warga negara yang sedang aktif menggunakan hak konstitusionalnya.

Namun, realitas seringkali jauh dari ideal. Sebagai bagian dari "portofolio sikap" ini, saya merasa perlu merefleksikan sebuah ironi: di satu sisi, kampus adalah mimbar kebebasan akademik, namun di sisi lain, ia bisa menjadi ruang yang membatasi dan tidak aman bagi sebagian warganya, khususnya mahasiswi. Kesetaraan gender, yang seharusnya menjadi pilar pendidikan modern, masih menjadi perjuangan yang belum usai.

Tulisan ini adalah sebuah narasi reflektif. Saya tidak bermaksud membedah data secara kuantitatif, melainkan merenungkan pengalaman, pengamatan, dan kegelisahan tentang bagaimana hak-hak dasar mahasiswi sebagai warga negara diterjemahkan dalam kehidupan kampus sehari-hari. Apakah kampus telah menjadi ruang yang adil yang memanusiakan seluruh warganya tanpa memandang gender?

II. PERMASALAHAN

1. Bagaimana manifestasi hak warga negara (hak atas rasa aman, hak atas pendidikan yang layak, hak bebas dari diskriminasi) secara spesifik relevan dengan pengalaman mahasiswi di lingkungan perguruan tinggi?
2. Apa bentuk-bentuk ketidakadilan atau diskriminasi berbasis gender yang secara sadar atau tidak sadar masih dinormalisasi di lingkungan kampus?
3. Mengapa pemenuhan hak mahasiswi secara utuh bukan hanya tanggung jawab institusi, tetapi juga merupakan bagian integral dari sikap (attitude) setiap individu warga kampus?

III. PEMBAHASAN 

a. Hak Warga Negara: Dari Konstitusi ke Koridor Kampus

Landasan kita berpijak sangat kuat. Materi Pembelajaran 1 menegaskan bahwa hak warga negara adalah hak yang melekat dan dijamin oleh negara. UUD 1945 Pasal 28G ayat 1 menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda, serta hak atas rasa aman.
Ketika kita menarik konsep agung ini ke realitas koridor kampus, pertanyaan reflektifnya adalah: "Apakah mahasiswi merasakan hak atas rasa aman itu?"

Realitas yang tidak bisa dimungkiri adalah tingginya angka kekerasan seksual (KS) di lingkungan perguruan tinggi. Sebelum lahirnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS), kampus seringkali menjadi zona abu-abu yang gagal melindungi warganya. Kekerasan seksual, baik itu pelecehan verbal, catcalling, hingga kekerasan fisik, adalah bentuk brutal dari perampasan hak warga negara. Ia tidak hanya merenggut rasa aman (Pasal 28G), tetapi juga secara langsung membunuh hak atas pendidikan (Pasal 31). Bagaimana mungkin seorang mahasiswi dapat fokus belajar, berdiskusi, atau berprestasi jika ia harus terus-menerus waspada terhadap predator di lingkungannya sendiri?

Refleksi saya adalah, kegagalan melindungi mahasiswi dari KS adalah kegagalan kampus sebagai miniatur negara dalam menjalankan fungsi utamanya: melindungi segenap warganya. Kehadiran Satgas PPKS adalah langkah maju, namun ini bukan sekadar soal administratif. Ini adalah soal penegakan martabat warga negara.

b. Diskriminasi Terselubung: Musuh dalam Selimut Kesetaraan

Keadilan gender tidak hanya soal kekerasan fisik. Ada musuh lain yang lebih subtil: diskriminasi terselubung dan bias gender yang terlembagakan. Secara pribadi, saya sering mengamati (atau mungkin tanpa sadar pernah melakukan) bagaimana peran gender yang kaku diterapkan di kampus. Dalam kegiatan organisasi atau kelompok tugas, mahasiswi seringkali secara "otomatis" ditempatkan pada posisi-posisi domestik seperti sekretaris, bendahara, atau seksi konsumsi. Sementara itu, posisi strategis seperti Ketua Pelaksana atau Koordinator Lapangan didominasi oleh mahasiswa.

Apakah ini salah? Secara eksplisit mungkin tidak ada aturan tertulis. Namun, ini adalah refleksi dari bias yang mendarah daging. Ini adalah pelanggaran hak atas kesempatan yang sama (Pasal 28D ayat 3) untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (dalam hal ini, "pemerintahan" skala kecil di organisasi kemahasiswaan).

Lebih jauh, dalam diskusi kelas, tidak jarang kita temui fenomena mansplaining, di mana pendapat mahasiswi dipotong, diremehkan, atau dijelaskan ulang oleh rekan prianya dengan nada superior. Ini bukan sekadar "gaya komunikasi". Ini adalah pembungkaman halus terhadap hak warga negara untuk berpendapat (Pasal 28E ayat 3). Ketika kampus menoleransi praktik ini, ia sedang gagal melatih warganya untuk menghargai kesetaraan dalam diskursus publik.

c. Portofolio Sikap: Dari Apatis Menjadi Aksi

Menyadari semua ini adalah langkah awal dari portofolio sikap saya. Pengetahuan tentang Hak Warga Negara yang saya pelajari menjadi sia-sia jika hanya berhenti sebagai hafalan pasal. Sikap (attitude) yang harus dibangun adalah transformasi dari bystander (penonton) menjadi ally (sekutu) dan advokat aktif.
Refleksi ini menyadarkan saya bahwa diam saat melihat ketidakadilan gender adalah bentuk persetujuan atas pelanggaran hak warga negara. Sikap yang benar sebagai mahasiswa sebagai agen perubahan adalah menantang normalisasi tersebut. Ini berarti:
  1. Berani Menegur: Menegur teman yang melontarkan lelucon seksis atau melakukan catcalling.
  2. Mendukung Kesempatan: Secara sadar mendorong dan mendukung mahasiswi untuk mengambil peran kepemimpinan strategis.
  3. Mempercayai Korban: Menjadi pendengar yang aman dan mempercayai penyintas kekerasan seksual, serta mendukung mekanisme Satgas PPKS. 

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Hak mahasiswi di lingkungan perguruan tinggi adalah manifestasi langsung dari hak warga negara yang dijamin konstitusi. Refleksi ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara jaminan hukum atas rasa aman, kebebasan dari diskriminasi, dan hak berpartisipasi, dengan realitas yang dihadapi mahasiswi. Tantangan utama berupa kekerasan seksual dan bias gender yang tersistematis telah mencederai hak-hak tersebut. Keadilan dan kesetaraan gender di kampus bukanlah agenda sekunder, melainkan prasyarat utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan menegakkan martabat kemanusiaan. Sikap kolektif sivitas akademika dalam melawan ketidakadilan ini adalah cerminan sejati dari pemahaman kita atas nilai-nilai kewarganegaraan.

Saran
Berdasarkan refleksi ini, beberapa sikap dan tindakan perlu diambil:
  1. Bagi Institusi Perguruan Tinggi: Implementasi Permendikbudristek 30/2021 tidak boleh berhenti pada formalitas pembentukan Satgas PPKS. Institusi harus menjamin anggaran, pelatihan, dan independensi Satgas, serta mengintegrasikan kurikulum kesetaraan gender secara serius ke dalam mata kuliah wajib.
  2. Bagi Mahasiswa dan Mahasiswi: Perlu ada peningkatan literasi kolektif mengenai hak warga negara dan keadilan gender. Hentikan sikap apatis. Mahasiswa (khususnya laki-laki) harus secara aktif mengambil peran sebagai sekutu (ally), bukan hanya penonton, dalam memperjuangkan ruang aman.
  3. Bagi Diri Saya Sendiri: Sebagai awal dari portofolio sikap ini, saya berkomitmen untuk tidak diam. Saya akan menggunakan hak berpendapat saya untuk menyuarakan isu ini dan menggunakan hak berorganisasi saya untuk berkontribusi menciptakan budaya kampus yang menghargai kesetaraan secara substantif, bukan hanya seremonial.

DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia. (2012). Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Fitriani, R., & dkk. (2020). Bias Gender dalam Pendidikan dan Tantangan Kesetaraan di Perguruan Tinggi. Jurnal Pendidikan Sosiologi, 8(2), 45-58.  

Comments

Popular posts from this blog

Tugas Terstruktur 02 : Zelda Nayla Ramadhani E43

Tugas Mandiri 02 : Zelda Nayla Ramadhani E43

Tugas Mandiri 03: Zelda Nayla Ramadhani E43