Tugas Mandiri 05: Zelda Nayla Ramadhani E43
Tanggapan Kritis Terhadap Diskusi Publik Tentang Demokrasi
Zelda Nayla Ramadhani
46125010112
Forum Sosialisasi Pemilu 2024 : "Pemuda Sadar Pemilu"
A. Identitas dan Informasi Video
- Judul Webinar: Forum Sosialisasi Pemilu 2024 : "Pemuda Sadar Pemilu"
- Institusi Penyelenggara: Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkomdigi TV) bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
- Tanggal Pelaksanaan: Dipublikasikan pada 5 Mei 2023.
- Link Akses Video: http://www.youtube.com/watch?v=4-o8ily8wtM
- Nara Sumber Utama (Panelis):
- Bapak Hamdan, S.IP., M.A.: Ketua KPU Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Ibu Sutrisnowati, S.H., M.H., M.PSI.: Ketua Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Vania Yohanda, S.IP: Influencer.
- Ahmad Makarim Pramudita: Presiden Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.
- Pembicara Kunci (Keynote/Sambutan): Prof. Dr. Phil. Al Makin, M.A. Rektor UIN Sunan Kalijaga.
- Ibu Dwi Dianingsih, S.Sos., M.Si: Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Politik dan Pemerintahan Kominfo.
B. Ringkasan Argumentasi Utama
1. Prof. Al Makin (Rektor UIN):
- Mengajukan kritik filosofis bahwa demokrasi saat ini terjebak pada biaya yang sangat mahal (disebutkan 76 triliun) dan rawan politik uang.
- Menyoroti dua ancaman utama: Politik Uang (Money Politics) dan Politik Identitas (menggunakan sentimen kelompok keagamaan).
- Menempatkan kampus sebagai "moral kompas" atau "kontrol grup" yang harus mengingatkan publik tentang etika dan kebajikan dalam berdemokrasi.
- Menyajikan data bahwa pemilih muda (Gen Z & Milenial) di DIY mencapai 40% namun data lain menunjukkan 29% pemuda "tidak peduli" (do not care) dengan pemilu.
- Mendorong pemuda untuk tidak hanya pasif, tetapi berpartisipasi aktif dalam 4 level:
- Level Dasar: Mengecek data diri di DPT (Daftar Pemilih Tetap) online.
- Level Pengawasan: Menjadi pemantau pemilu resmi.
- Level Penyelenggara: Terlibat sebagai petugas KPPS di TPS.
- Level Diskursus: Membantu sosialisasi anti-politik uang dan melawan hoaks.
- Menekankan bahwa Bawaslu hadir untuk menjamin integritas dan keadilan pemilu.
- Argumen utamanya adalah pemuda bukan sekadar "pemilih" (voter), tetapi "pemilik republik" (owner).
- Mengajak pemuda menjadi Pengawas Partisipatif. Caranya adalah dengan menggunakan gawai (gadget) untuk mengisi ruang digital dengan konten-konten positif sebagai tandingan (counter) terhadap hoaks, ujaran kebencian, dan politisasi SARA.
- Berfokus untuk melawan sikap apatis atau Golput. Ia berargumen bahwa Golput tidak menyelesaikan masalah.
- Memaknai memilih sebagai bagian dari proses pendewasaan dan belajar mengambil keputusan penting dalam hidup.
- Mendorong pemuda untuk "kepo" (ingin tahu), mencari rekam jejak calon, dan melakukan cross-check fakta di media sosial.
- Menyebut pemuda (55% pemilih nasional) sebagai "main character" dalam Pemilu 2024.
- Mengidentifikasi Pemilu 2024 sebagai "endgame" (akhir permainan) untuk menuju konsolidasi demokrasi.
- Tantangan terbesarnya adalah potensi konflik horizontal yang didorong via media sosial.
- Mendorong mahasiswa menjadi inisiator "Politik Gagasan" (fokus pada ide) sebagai lawan dari politik materialistis (politik uang).
C. Panduan Analisis Kritis (Saran)
Kekuatan Argumen: Para pembicara (KPU, Bawaslu) kuat dalam menyajikan data persentase pemilih muda [42:22] dan memberikan langkah-langkah partisipasi yang konkret (cek DPT, jadi KPPS).
Kelemahan/Celah Diskusi: Diskusi ini sangat normatif (menjelaskan apa yang seharusnya pemuda lakukan). Anda bisa mengkritisi apakah seruan "sadar pemilu" dan "lawan hoaks" ini realistis tanpa adanya literasi digital yang masif. Para pembicara mengidentifikasi masalah (hoaks, politik uang), namun solusi yang ditawarkan (misalnya "buat konten positif") mungkin belum sebanding dengan masifnya masalah buzzer dan disinformasi terstruktur.
Perspektif Teoritis (Minimal 2 Teori):
- Teori Partisipasi Politik: Teori ini untuk menganalisis ajakan KPU dan Bawaslu. Apakah ajakan menjadi KPPS atau pemantau sudah masuk kategori partisipasi konvensional atau non-konvensional? Apakah ini efektif untuk meningkatkan kualitas demokrasi?
- Teori Demokrasi Digital & Literasi Digital: Ini sangat relevan. Dapat menghubungkan data bahwa pemuda mencari info via medos dengan tantangan hoaks dan SARA. Bisa mengevaluasi apakah solusi "membuat konten positif" cukup untuk melawan disinformasi di era post-truth.
E. Referensi Jurnal
Tentang Pola Perilaku Gen Z dalam Mencari Informasi Politik: Evita, N. (2023). GENERASI Z DALAM PEMILU: POLA BERMEDIA GENERASI Z DALAM PENCARIAN INFORMASI POLITIK. Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia, 5(1), 47–66.
Tentang Membangun Kesadaran Politik Pemilih Pemula (Gen Z): Yulianti, D. B., Dewi, D. S. K., & Djuwitaningsih, E. W. (2024). PEMILIH PEMULA DALAM PEMILU 2024: MEMBANGUN KESADARAN POLITIK PADA GENERASI Z. MALLOMO: Journal of Community Service, 5(1), 528–533.Tentang Peran Medsos dan Tantangan Disinformasi: Ardiansyah, F., & et al. (2024). dinamika partisipasi politik generasi milenial pada pemilihan presiden 2024 melalui media sosial. SOSIAL BUDAYA: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya, 21(1), 1–11.
Tentang Tantangan Disinformasi Secara Spesifik: Wahyuningroem, S. L., & et al. (2024). TROLLS, DISINFORMASI, DAN STRATEGI KAMPANYE: TANTANGAN DEMOKRASI DIGITAL DALAM PEMILU 2024. Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia, 6(1), 1-26.
Comments
Post a Comment