PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Mozaik Griya Nusantara: Potret Persatuan dan Tantangan dalam Keseharian Urban
Lokasi Observasi: Kompleks Perumahan Griya Nusantara, Kota Tangerang Selatan
Periode Observasi: 1 - 10 Oktober 2025
A. PENDAHULUAN
Saya memilih Kompleks Perumahan Griya Nusantara di Tangerang Selatan sebagai lokasi observasi. Alasan utamanya adalah karena kompleks ini merupakan mikrokosmos dari masyarakat urban Indonesia modern: sebuah titik temu bagi para profesional dan keluarga dari berbagai latar belakang suku (Jawa, Sunda, Batak, Minang, Tionghoa), agama, dan status sosial-ekonomi yang beragam. Mereka datang dari berbagai penjuru nusantara untuk bekerja di Jakarta dan sekitarnya. Di tengah narasi besar tentang polarisasi politik dan sosial di tingkat nasional, saya tertarik untuk menyelami bagaimana konsep integrasi nasional penyatuan berbagai kelompok sosial dan budaya ke dalam satu kesatuan wilayah bermanifestasi dalam interaksi sehari-hari yang paling mendasar di tingkat Rukun Tetangga (RT). Observasi ini bertujuan untuk memahami praktik-praktik nyata yang memperkuat persatuan sekaligus mengidentifikasi potensi keretakan yang tersembunyi di baliknya.
B. TEMUAN OBSERVASI
Selama dua minggu pengamatan, saya menemukan bahwa persatuan di Griya Nusantara bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sebuah proses dinamis yang ditenun melalui interaksi formal dan informal. Contoh positif yang paling menonjol adalah persiapan dan pelaksanaan acara Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus yang sisa-sisa kemeriahannya masih terasa. Panitia acara terdiri dari warga dengan latar belakang yang sangat beragam. Pak Budi, seorang Muslim Jawa yang dituakan, mengetuai panitia, sementara bendaharanya adalah Ibu Grace, seorang Nasrani keturunan Tionghoa. Dalam rapat-rapat yang saya amati, diskusi berjalan cair dan egaliter. Puncaknya adalah saat hari-H, di mana anak-anak dari semua keluarga, tanpa memandang suku atau agama orang tua mereka, berbaur dalam lomba makan kerupuk dan balap karung. Simbol Merah Putih dan semangat kemerdekaan menjadi perekat komunal yang efektif.
Namun, di balik kehangatan komunal tersebut, saya juga mengamati adanya potensi gesekan. Interaksi paling jelas terlihat di dalam grup WhatsApp (WAG) warga RT. Sebuah diskusi mengenai kenaikan iuran keamanan dan kebersihan sempat memanas. Isu yang awalnya logistik berubah menjadi perdebatan yang menyentuh ranah personal dan status sosial. Muncul komentar seperti, "Wajar iuran naik, fasilitas kan harus bagus. Yang belum sanggup, mungkin bisa lapor Pak RT," yang secara tidak langsung menciptakan sekat antara warga yang dianggap 'mampu' dan 'kurang mampu'. Selain itu, secara tidak sadar, terbentuk kelompok-kelompok sosial yang lebih kecil dan eksklusif. Ibu-ibu dari suku Minang, misalnya, memiliki grup arisan sendiri, begitu pula beberapa bapak-bapak yang memiliki hobi sepeda yang sama. Meskipun tidak ada niat buruk, eksklusivitas ini mengurangi kesempatan untuk interaksi lintas kelompok yang lebih dalam di luar acara formal.
C. ANALISIS
Temuan observasi di Griya Nusantara dapat dianalisis menggunakan beberapa konsep integrasi nasional. Praktik positif seperti perayaan 17 Agustus merupakan wujud nyata dari integrasi instrumental dan fungsional, di mana warga bersatu karena adanya tujuan dan kepentingan bersama (suksesnya acara) serta kesamaan atribut sebagai warga negara (simbol bendera, hari kemerdekaan). Kepemimpinan Pak Budi yang inklusif dan pembagian kerja yang adil membangun modal sosial berupa kepercayaan (trust) dan jaringan (network) antarwarga. Ini sejalan dengan pandangan bahwa integrasi di tingkat akar rumput sering kali diperkuat oleh proyek-proyek bersama yang konkrit dan simbol-simbol kebangsaan yang dihayati bersama.
Di sisi lain, potensi konflik di WAG dan terbentuknya kelompok-kelompok eksklusif menunjukkan tantangan dalam integrasi sosial. Ketegangan akibat iuran warga merefleksikan adanya kesenjangan sosial-ekonomi yang menjadi akar masalah potensial. Komunikasi daring yang minim isyarat non-verbal mempercepat eskalasi konflik, di mana asumsi dan prasangka lebih mudah muncul. Fenomena ini mengonfirmasi bahwa kemudahan teknologi tidak secara otomatis menjamin integrasi sosial; justru bisa menjadi arena baru bagi segregasi digital. Terbentuknya sub-grup berdasarkan kesamaan primordial (suku) atau hobi, meskipun wajar, menunjukkan bahwa integrasi normatif penerimaan terhadap norma dan nilai bersama sebagai satu komunitas besar masih perlu terus diperkuat agar tidak tergerus oleh loyalitas pada kelompok yang lebih kecil.
D. REFLEKSI DIRI & PEMBELAJARAN
Observasi ini menyadarkan saya bahwa selama ini saya sering mengambil posisi sebagai "silent reader" dalam dinamika WAG warga. Saya cenderung menghindari perdebatan untuk tidak terlibat konflik, namun saya sadar bahwa sikap pasif tersebut secara tidak langsung membiarkan narasi negatif berkembang tanpa penyeimbang. Saya belajar bahwa kepedulian terhadap persatuan tidak cukup hanya dengan tidak membenci perbedaan, tetapi juga harus diwujudkan dengan tindakan proaktif untuk menjembatani kesalahpahaman. Sebagai generasi muda yang lebih fasih dalam literasi digital, saya memiliki peran strategis. Saya bisa menjadi inisiator untuk menyebarkan informasi positif, menjadi penengah yang menyejukkan saat diskusi memanas, atau bahkan mengusulkan "aturan main" berkomunikasi di ruang digital agar lebih beradab dan konstruktif.
E. KESIMPULAN & REKOMENDASI
Kesimpulannya, integrasi nasional di lingkungan seperti Griya Nusantara adalah sebuah dialektika yang terus-menerus antara kekuatan pemersatu dan potensi pemecah belah. Persatuan tumbuh subur melalui aktivitas bersama yang berorientasi pada tujuan dan simbol kebangsaan, namun terancam oleh kesenjangan ekonomi dan kegagalan komunikasi di ruang digital. Persatuan bukanlah warisan yang diterima begitu saja, melainkan sebuah upaya yang harus dirawat setiap hari oleh setiap warganya. Berdasarkan refleksi tersebut, berikut adalah dua rekomendasi aksi nyata:- Menginisiasi "Pekan Olahraga & Seni Warga": Mengadakan acara tahunan selain perayaan kemerdekaan yang berfokus pada kolaborasi (misalnya, tim olahraga campuran antar-blok atau lomba memasak masakan khas daerah) untuk menciptakan lebih banyak momen interaksi positif dan memecah sekat-sekat kelompok eksklusif.
- Membuat "Piagam Komunikasi Digital Warga": Mengajak warga, terutama generasi yang lebih muda, untuk bersama-sama merumuskan pedoman sederhana tentang etika berkomunikasi di grup WhatsApp. Isinya bisa berupa anjuran untuk tidak membahas isu SARA dan politik praktis, serta mendorong penyelesaian masalah personal melalui jalur pribadi (japri) untuk menjaga kondusivitas ruang diskusi bersama.
Comments
Post a Comment